Senin, November 01, 2010

Kamis, September 30, 2010

Lomba Penulisan

JANGAN PANGGIL AKU ADEK LAGI !!
Oleh : Diah Arie Setiawati

“Pokoknya Adek enggak mau pulaaang…Bunda enggak boleh nginep di rumah sakit !!” suara melengking Rafif memecah keheningan di salah satu ruang perawatan paska melahirkan. Teriakan itu keluar dari Athallah Rafif Hidayat, putra kedua kami, yang saat adik perempuannya lahir, masih berumur tiga setengah tahun.

Kecemburuan Adek –panggilan Rafif- justru muncul saat aku melahirkan Sakinah. Selama kehamilan Sakinah, tidak ada perubahan sikap maupun dalam kebiasaan sehari hari si Adek, ya kalau ada “kericuhan” sedikit, itupun masih tergolong wajar, layaknya bocah.
Selama dua hari aku menjalani proses pemulihan di rumah bersalin, kehebohan ala Adek Rafif kerap terjadi, mulai iri melihat Sakinah ditimang, “Bunda, gendong Adek kayak Sakinah dong terus digoyang goyang gitu, gendong kayak adek bayi” celotehnya sambil menunjuk ke Sakinah yang terlelap di gendonganku. Membayangkan menimang balita usia tiga setengah tahun dengan bobot badan yang super besar untuk anak seusianya, sudah cukup membuatku sesak napas. Tapi akhirnya kuturuti juga kemauannya walaupun harus mengerahkan tenaga ekstra. Sampai keinginannya untuk bisa masuk dan tidur di boks bayi, semuanya harus iya, tidak bisa tidak.

Berbagai upaya dikerahkan oleh Kakak Alif, anak sulungku, ayahnya, nenek, kakek, om dan tante, membujuknya agar ia mau pulang dan sedikit bisa lepas dariku, dimulai dengan membawakan berliter-liter ice cream, beragam jenis coklat, donat, yang merupakan makanan favorit si Adek sampai mainan mobil-mobilan berbagai model, tetap tak membuahkan hasil. Walhasil, tiga hari dua malam, Adek dengan setia menemaniku, bundanya, di rumah sakit.

Episode baru, masih dengan tema yang sama : JL alias Jealous, begitu aku dan suami menyebut masa-masa seperti ini, terus berlanjut begitu aku dan Sakinah diperbolehkan pulang. Kebiasaan di keluarga kami memang tidak pernah memakai tenaga pengasuh bayi, aku dan suami yang berkolaborasi mengasuh serta mengurus semua keperluan putra putri kami, hingga mereka masuk sekolah TK, setelah itu, barulah “mbak” diperbantukan. Jadi, bisa dibayangkan hiruk pikuk suasana rumah kami setiap harinya, ditambah lagi dengan kehadiran Sakinah. Hari pertama di rumah, sudah disambut dengan isak tangis Rafif ketika melihat banyaknya tamu yang datang menengok, ”Sakinah mulu… Sakinah mulu…. Adek mau jadi bayi aja ah, biar dapet kado. Sakinah jelek.” Kugendong Rafif ke kamar dan kutidurkan di samping adiknya, sambil aku peluk “Adek…. Dulu waktu Adek keluar dari perut Bunda, juga sama seperti Sakinah. Belum bisa jalan, belum bisa lari main bola, makan juga belum bisa, bisanya cuma nangis, Dulu, Adek juga Bunda gendong, Bunda temani tidurnya. Adek juga Bunda yang mandikan, Kakak Alif ikutan mandiin Adek lho, terus pernah…Kakak Alif bantu pasangin popok Adek. Kakak sayang ya sama Adek. Coba deh lihat Sakinah, tuh kan Sakinah sayang sama Adek Rafif, tuuuh Sakinah pengen peluk Kakak Rafif katanya,” sambil aku dekatkan posisi Sakinah ke badan Rafif.

Kecemburuan Rafif ke adik barunya, berjalan hampir satu setengah bulan, dan bukan hal gampang membagi perhatian, waktu serta tenaga untuk tiga anak. Tapi sejak awal hadirnya si bungsu, aku selalu berusaha melibatkan Rafif dalam setiap kegiatan pengasuhan Sakinah. Sama seperti yang kulakukan ke Kakak Alif saat Rafif lahir. Seperti memintanya sebentar menjaga Sakinah di kamar tidur, ketika aku harus memeriksa tugas sekolah si sulung, mengajaknya mengganti popok, bersama-sama membacakan dongeng atau buku, sampai mengajaknya ikut memandikan Sakinah. Untuk acara mandi, menjadi sebuah ritual yang teramat seru, tak terlupakan dan pastinya sarat dengan muatan “sex education for child”, pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari kepolosan seorang balita.

Sebuah reward tak ketinggalan selalu kami berikan di setiap kesempatan, tidak harus berupa barang, bisa berupa pelukan disertai cium dan ungkapan seperti “Adek hebat ya udah bisa bantu Bunda gantikan popok Sakinah. Bunda sayang Adek”. Dan kebiasaan Rafif setelah menerima “special reward” dariku, dengan bangganya ia menelpon kakek atau nenek, bercerita ke kakak serta ayahnya, dan juga ke teman mainnya bahwa ia sudah besar dan hebat.

Sampai di suatu pagi ketika kami berempat, aku, Kakak Alif, Rafif dan Sakinah pulang dari jalan pagi keliling komplek perumahan tempat kami tinggal, setibanya di depan rumah, Rafif langsung membuka pagar sambil berujar, “Kakak Rafif aja yang dorong pagarnya. Bunda, Kak Alif, sekarang kalo panggil Adek, harus Kakak Rafif ! Jangan lagi panggil Adek… Oke”. Sambil berlari kecil menghampiri trolly Sakinah lalu mengusap kaki adiknya, ia masih berujar dengan bangganya “Nih Kak Rafif, Sakinah cantik…. Kalo Sakinah mau apa, bilang sama Kakak Rafif ya” []
.




Surabaya, 30 September 2010